Aku salah satu yang lolos dari lubang jarum di padatnya Kota Jakarta. Aku berhasil menjadi mereka yang lebur bersama waktu dengan keahlian menebak apakah tubuh ini mampu terselip di antara celah sesak gerbong kereta setiap Jumat malam.
Aku mulai terbiasa dengan lanskap
Ibukota dan membuka perbincangan dengan driver
ojek online saat menunggu giliran di setiap lampu merah. Terlalu banyak percakapan.
Terlalu banyak kata yang ingin dirangkai. Terlalu sedikit waktu.
Daripada menumpuk
pertanyaan untuk semesta tentang berapa nama yang telah pergi, kini aku lebih
tertarik dengan perusahaan sebelah yang baru saja beres melakukan akuisisi. Aku
lebih memilih untuk terobsesi dengan jumlah pengikut akun maya perusahaan dan
mencoba menambahkan beberapa digit dengan menyulap konten di sana-sini.
Menebak hati
masing-masing tidak lagi menyenangkan, aku lebih suka terhanyut dalam analisis
komentar dari mereka yang aku baca di linimasa. Aku lebih terhibur dengan
warganet yang sarkastik daripada menelaah perasaan yang kadang menjelma kembar
identik.
Berasumsi tentang
bisnis rasanya lebih mudah daripada aku harus meramal seberapa lama sebuah nama
akan bertahan di setiap hitungan jam. Kini, aku percaya bahwa kehilangan nama hanyalah
sebuah momentum semesta. Fase reinkarnasi. Tanda untuk terlahir kembali.
Tempatku berdiri
saat ini membuatku merasa beruntung sekali. Aku sedang dihibur semesta; mereka
paham betul bahwa aku tidak ingin merasakan sakit dua kali. Aku tidak lagi begitu
peduli apakah namanya akan selamanya pergi atau suatu saat akan mampir kembali.
Sesekali, aku
mengintip kepingan waktu yang ia habiskan melalui foto yang biasanya diunggah
untuk konsumsi publik. Rasanya, 15 detik adalah waktu yang terlalu lama untuk memahami
bahwa ia masih diam di tempat dan tidak bergerak.
Ia masih menolak
untuk berpindah dan aku tidak merasa salah dalam mengambil keputusan. Ia tetap sama
saja. Mungkin akan tetap begitu. Selamanya. Kita tidak akan pernah berjalan
dengan semestinya.
Tenang, aku tidak
lagi merasa kecewa. Untuk apa? Ia memilih untuk menjadi sebuah titik dan aku
tidak ingin berbalik. Rangkaian kata di tulisan ini sepertinya lebih ditujukan
untukku yang tidak juga memaafkan diri sendiri; ini pekerjaan rumah yang sulit
sekali.
Aku lebih memilih
untuk hanyut di dalam analisis tentang ruwetnya strategi bisnis daripada
berurusan dengan hati yang hanya bisa dikendalikan oleh tenaga kosmis. Aku lebih
menikmati jam lembur dari Senin hingga Kamis daripada menebak setiap
tindakannya dengan mengandalkan berbagai premis.
Ia terlalu rumit. Aku terlalu
sakit.
Daripada memupuk ekspektasi, lebih baik aku menjadi spasi dan memilih
setiap diksi supaya tidak kentara bahwa untaiannya masih saja berisi refleksi.
Aku tidak ingin kembali ke daftar isi. Ternyata, aku mampu mengakhiri suatu edisi
yang pernah menjelma adiksi.
Aku
mulai mengoleksi berbagai nama yang baru saja datang dan mencoba untuk tidak
menjadi pola yang berulang. Aku mulai memaknai definisi dari kata hilang yang tampaknya adalah sebuah
kausalitas dari kata menemukan.
Aku ingin pulang. Kamu juga, kan?
Gambar diambil dari Unsplash