Tentang Jarak dan Waktu Tempuh
Namamu ternyata
masih sangat baru, walaupun kamu sudah terasa lebih dari sewindu. Tidak seperti
nama yang hadir di tahun lalu, sepertinya kamu tidak menyimpan peluru ataupun berintensi
untuk membuatku merasa keliru. Tetapi, tunggu dulu. Nampaknya, aku justru menjelma
ragu.
Aku
berkali-kali berdalih bahwa aku sudah sepenuhnya memilih untuk beralih. Aku sempat
merasa yakin bahwa aku sudah fasih dalam mengeja kata pulih daripada
mengulang kata masih. Aku bukan lagi menjelma buih atau serpih; kali ini, aku
sudah bisa berpikir dengan jernih.
Kedatanganmu
tepat waktu. Tepat saat aku mencoba sembuh dan agaknya sudah merasa sedikit utuh.
Aku berhenti bertaruh. Namamu bukan untuk permainan kartu. Kamu rupanya menjelma
sebuah pintu menuju bab yang baru, menuju cerita sambungan dari masa lalu. Aku
kembali ke bab satu. Aku kembali menuju cerita yang belum tentu berakhir satu.
Terakhir kali
namamu kembali, kita menjadi sebuah anomali. Waktu itu, aku memilih untuk
memegang kendali. Aku mulai memberi spasi daripada tenggelam di dalam
ekspektasi yang berpotensi menjelma adiksi. Aku dan kamu kembali sibuk dengan ambisi
sambil mencari makna eksistensi. Namun, dengan adanya spasi, aku menggenggam
esensi dari jati diri dan kamu berhasil menjajal prestasi yang menuai impresi.
Mungkin, itu
makna dari adanya kamu, jarak, dan waktu tempuh. Mungkin, kata jauh tidak
selalu bermakna rapuh. Jarak dan waktu tempuh adalah cara semesta yang ampuh
untuk memahami betul apakah aku sudah sembuh dengan sungguh. Apakah aku sudah bangun
dan kembali tangguh.
Sudahkah kita
merasa mampu untuk saling bertumpu?
Aku tidak
ingin kembali ke cerita fiksi. Aku sudah cukup familiar dengan asumsi dan
persepsi yang tidak presisi. Mari kita kumpulkan spasi sebanyak mungkin supaya
semesta dapat memberi ruang untuk kita merasa yakin. Aku akan berhenti mencari
dan membiarkan semesta untuk menjadi juri.
Aku kembali
ke bab satu.
Tentang aku,
kamu, jarak, dan waktu tempuh.
Mari kita buktikan bahwa kata jauh tidak
selalu lekat dengan makna rapuh.
Kali ini,
bolehkah aku menunggu dengan sungguh?
Sabtu, 16
Juni 2018 | 23.02
0 comments